Kamis, Oktober 02, 2003


JIWAKU

Jiwaku terkatup dalam dinding kaca menghamburkan ribuan huruf pada sepasang mata di ujung. Jiwaku terbang bersama angin yang melambungkan anganku menjadi jutaan paradigma menjadikannya sedimen-sedimen niscaya. Jiwaku berlutut dalam diam tak terpeta kuotanya memandang sepasang mata di ujung. Berlari.


PATAH

sukmaku patah. ragaku tercabik

lingkaran setan kehidupan kematian kehidupan kematian kehidupan kematian kehidupan kematian

tak lagi beda



SEPOTONG NYAWA DAN PEREMPUAN

1.
Perempuan tengah baya itu memandang sepotong nyawa di beranda waktu. Linangan airmata tiba-tiba menetes tak sengaja di pipi yang hampir lingsut terkena usia. Tak sengaja ia berbisik lirih, "Apakah lamunan menjagalmu di situ, Permataku?"
Sepotong nyawa tak bergeming. Masih dia memungut rapuh helaian daun di halaman matanya.
Perempuan kembali berbisik, "Hentikanlah musim ini demi benih yang ku siram di detak nafasmu, hai Kekasih hatiku!"
Sepotong nyawa memandang sekilas berucap sinis, "Jangan kau usik aku hai perempuan tak menahu rasa tak menahu makna tak menahu apa-apa!"desisnya.
"Demi cinta tak pantas kau bicara begitu terhadap aku!"balas perempuan marah.
"Demi cinta biarkan aku terbang dengan sayapku!"tak kalah sepotong nyawa membantah.
"Tak jika hanya airmata ku temu di matamu, tak jika kau tinggal sepotong nyawa tanpa makna tak jika kau tak rasai biasa bahagia tak!"
Bagai guntur tiba-tiba perempuan teriak hingga jatuhlah bebutir tangis dari matanya yang redup termakan nelangsa, "Kabarkan bahagia padaku sekali saja!"
Terbata katanya mengeja sepotong nyawa pasi bertanya,"Apakah kau mau dariku sebenarnya, hai perempuan berhati murni?" tiba-tiba matanya bergayut embun membasah desahnya.
"Tanggalkan dunia yang kau bangun kala dendam menyihirmu! Tanggalkan lingkaran kesunyian yang membelenggumu! Tanggalkan kepura-puraan tanggalkan semua kepalsuan! Raihlah kembali ragamu yang telah lama lalai oleh egomu! Berbahagialah untukku dengan cahya sebagai dulu pernah kusiram di matamu"
"Tak bisa!"sepotong nyawa termangu,
"Tak?"
"Kau akan menghadapkan aku pada kekerdilan rangka kepahitan realita keperihan, " sebisik tangis membasah resah.
"Bagaimana pun pahitnya kau tetap manusia, mesti menjalani niscaya telah digariskan. Berbahagialah dengan itu semua menjadi biasa seperti mereka."
Sepotong nyawa berdesis perih ketika raga menjemputnya dalam satu jabatan biasa: manusia

2.
Pagi yang ceria, Seorang gadis dengan wajah ceria menyambut perempuan berjalan dari balik daun pintu,
"Apa kabarmu hari ini, Cantik? Sudahkah kau minum jamu? Susu? Sarapan? Mandi?"
desisan kata-kata perempuan menyapa gadis hanya tersenyum memandang. Sementara diam-diam ada yang hilang menjadikannya seolah tak pernah ada.
Demi cinta, "Ibu," Pelukan hangat kicaukan riuh pagi itu.

Puisiku Jadi Lagu