Jumat, Februari 07, 2003

AKU TAK BISA MEMBACA

1.
Ketika ditiupkan-Nya ruh kehidupan dalam orbit kepastian dengan perhitungan-perhitungan tak terelakkan, maka pada saat itu juga Ia menantang dengan satu pertanyaan, “ Tidakkah kamu berpikir?”

Ketika dituliskan-Nya kata demi kata meniti kedalaman makna rahasia sempurna tak terjamahkan, maka pada saat itu juga ia menuliskan satu kata: Bacalah!

Aku tak bisa membaca. Demikianlah suara gigil lahir dari kedalaman kerdil yang sembunyi malu-malu

Bacalah!

Aku tak bisa membaca. Demikianlah lari mencuri kaki-kaki patah menuju persembunyiannya mencari posisi yang mapan. Dalam selimut tebal yang dinamakan:
kebodohan

2.
Maka, diselimutinya rahasia dalam dekapan gulita. Menanggalkan tanya tak terjawab. Menjadi gundukan-gundukan pasir tak terjewantahkan

Maka, hari-hari yang berlari tak lebih dari sekedar menjalani tanpa mengerti puisi inderawi yang terperangkap dalam setiap inchi diri.

Maka, hari-hari hanya santapan relita termakan usia. Hidup hanyalah menunggu ajal yang kan menjagalkan pedangnya tepat di tulang leher.

Aku tak bisa membaca, menjelajah di setiap sudut masa.

(Aku bisa membaca dalam sebuah lembaga kurikulum yang mengeja kata demi sebuah nilai)


SKETSA KEMARAU


Kemarau didekap pepadang hujan menderas memanas menjadikannya debu yang melilipi mataku hingga menangis pula kemarau mataku dimakan usia dimakan nelangsa.
Hujan didekap pepadang parau suaraku memburu menjadikannya tahu arti cemburu hingga menangis pula kemarau mataku dimakan nafsu dimakan pilu.



TAK SELESAI

Permainan telah usai
(layar tertutup, tak terdengar sorak sorai, hanya diri bergulat diri)
Pergulatan tak selesai



JIKA

sayapmu patah
tangismu pecah
maka,
tawaku musnah



SUBHANALLAH

Akan pergi diri suatu saat nanti
Mencari hakikat
Kan terkelupas segala imaji menemu inti sampai puas memanas melantun pujian
Subhanallah



Puisiku Jadi Lagu