RESENSI NOVEL: DENTING PIANO PUKUL 11 MALAM
Kisah Hantu dan Tragedi Remaja Kota Ngalam
Oleh YUSRI FAJAR
Cerpenis, Dosen FIB UB
Apakah
di kota Ngalam yang kini anda tinggali, anda pernah berpikir atau
berimajinasi tentang makhluk yang berada di dunia lain? Pernahkan anda
mendengar cerita dari tetangga, sahabat dan saudara tentang arwah gentayangan
dari orang-orang yang telah meninggal secara tragis? Ketika saya mengunjungi
kebuh teh Wonosari Lawang Malang, salah seorang pegawai Kafe Rollas yang
terletak persis di samping pabrik pengolahan teh di area Kebun yang dikelola
PTP XII itu bercerita kepada saya bahwa di dalam pabrik yang beroperasi ketika
malam itu sering ada penampakan hantu bule Belanda yang dulu merupakan seorang amtenaar
di pabrik itu. Menurut dia hantu itu sering muncul di salah satu sudut di
dalam pabrik yang dibangun Belanda sekitar tahun 1912 tersebut.
Narasi-narasi
tentang makhluk gaib yang hidup di alam berbeda masih menghiasi kehidupan
sehari-hari. Lanskap kehidupan tokoh yang penuh misteri, ketakwajaran dan
keanehan sejak lama memperkaya dunia sastra, seperti cerita dalam novel
bergenre gothic. Melalui latar kota Malang, Novelis Kunthi Hastorini
menulis novel bertajuk “Denting Piano Pukul 11 Malam” yang menghadirkan
rangkaian peristiwa penuh misteri dibalik meninggalnya dan kemunculan hantu
salah satu tokoh utama novel ini yaitu gadis remaja kota Malang bernama Carla
yang memiliki saudara perempuan kembar bernama Careen.
Teknik penceritaan dalam novel
yang dilakukan melalui alur maju dan mundur yang disusun secara bergantian,
dengan keterangan bulan dan tahun di awal setiap bab membuat pembaca penasaran.
Misalnya, di bab satu dengan keterangan waktu tahun 2010 (dari 13 bab yang ada)
dikisahkan Carla, yang masih hidup, tengah berangkat ke sekolah bersama Careen.
Sementara di bab kedua dengan latar waktu tahun 2015 Carla dikabarkan telah
meninggal. Sebuah pergantian cepat dari latar waktu yang sengaja dilakukan
untuk menghadirkan misteri di awal cerita. Apa yang menyebabkan Carla meninggal
dan siapa yang setiap jam 11 malam memainkan piano di rumahnya? Ini tipe
pertanyaan mendebarkan sekaligus misterius. Dalam tradisi sastra gothic,
latar waktu malam hari dipilih selain untuk menciptakan ketegangan dan suasana
menakutkan, juga untuk membangun relevansi kehadiran hantu yang identik dengan
setting malam yang gelap dan teka-teki yang belum tersingkap.
‘Hantu’ Carla dikisahkan masih
menyimpan ketidakpuasan bahkan dendam kepada beberapa orang yang memengaruhi perjalanan
hidupnya. Tokoh-tokoh penting dalam novel “Denting Piano Pukul 11 Malam”
berasal dari keluarga di Malang dengan kondisi ekonomi yang mapan. Hal ini
diperkuat dengan deskripsi rumah si kembar Carla dan Careen yang bermodel
Bungalow dan aneka kebutuhan mereka yang selalu tercukupi. Mereka juga memiliki
beberapa pembantu yang patuh dan setia. Sementara tetangga si Kembar, yaitu
Sandy juga berasal dari keluarga kaya. Ayahnya memiliki sumber penghasilan yang
baik karena memiliki pekerjaan prestigius di Belanda.
Konflik dalam cerpen ini bermula
dari ‘salah asuh dan perlakuan’ dari orang tua. Ibu Carla dan Careen
memperlakukan mereka secara berbeda; Carla lebih difasilitasi karena dianggap
punya fisik lebih cantik dan berbagai talenta. Sementara Careen seringkali
dianaktirikan. Perlakukan ini membuat Carla menjadi lebih superior dibandingkan
Careen. Sifat egois, iri hati dan dengki tersemaikan dalam keluarga.
Kondisi tersebut diperburuk
dengan berseminya benih-benih cinta segitiga antara Sandy, Carla dan Careen.
Persaingan dan hubungan yang tidak harmonis makin meruncingkan konflik. Baik
Carla dan Careen memang menyukai Sandy. Mereka kuliah di satu Universitas di
Malang. Alih-alih Sandy menjadi tokoh pengisi lubang hati Carla atau Careen
untuk membangun romantika manis dalam cerita, ia dalam perjalanan cerita justru
lebih menjadi tokoh penting yang berperan menjalankan misi mengungkap
misteri-misteri yang terjadi. Sandy menjadi pendulum pendorong tersingkapnya
sebab dan akibat tragedi-tragedi dalam keluarga Carla dan Careen.
Impian ibunda Carla agar Carla
menjadi tumpuan keluarga dan imaji kebahagian atas cinta tak pernah terwujud
hingga di akhir cerita. Carla terjatuh dari Bungalow dan meninggal setelah
bertengkar hebat dengan Careen karena Gaun milik Carla dinodai secara tidak
sengaja oleh Careen dengan cairan berwarna merah. Musibah keluarga makin parah
karena Careen akhirnya mengalami gangguan mental, yaitu dualisme diri, yang
seakan ada subjek eksternal yang mengawasi dirinya sehingga memunculkan rasa
takut dan gelisah terus-menerus. Sang ibu, Imelda, yang tak bisa menerima
kenyataan tragis yang menimpa kedua anaknya itu akhirnya juga mengalami
gangguan jiwa dan harus pergi dari rumah. Sakit jiwa atau kegilaan (madness)
yang dialami beberapa tokoh cerita, dalam sastra gothic, menjadi unsur
penting dalam menunjukkan akibat teror dan suasana horor dari sebuah pergulatan
psikologis yang menekan.
Kehadiran novel “Denting Piano
Pukul 11 Malam’ dengan demikian memberikan kesan dan pesan tentang beberapa
hal. Pertama, narasi dan pengaruh khazanah dunia gaib yang belum sepenuhnya
terhapus dari entitas logika manusia. Kepercayaan manusia atas keberadaan
‘hantu’ masih tertuang dalam wacana dan perbincangan sehingga novel-novel horor
bisa jadi akan terus membanjiri dunia sastra. Kedua, pesan tentang tragedi
dalam keluarga yang dipicu oleh pendidikan dalam keluarga yang salah; Relasi
orang tua dan anak tidak harmonis dan perlakukan berbasis materi semata tanpa
nilai-nilai keluhuran membuka pintu konflik dan berbagai masalah pelik. Ketiga,
cinta segitiga selalu saja memporakporandakan keutuhan rasa memiliki dan
menimbulkan keterpecahan hubungan seutuhnya. Struktur cerita dan genre cerita
bernuansa horor dalam novel ini rasanya lebih digunakan sebagai medium untuk
menyampaikan nilai-nilai moral tentang harmoni dalam keluarga, dan representasi
para remaja yang cenderung labil dan berpotensi mengalami krisis mental yang
jika tak berkelola dengan baik bisa berujung pada tragedi.
Meskipun genre horor memiliki
keunikan dan kekhasan, dalam jagad kesusastraan Malang Raya novel bergenre ini
belum terlalu menarik para pengarang. Hal ini bisa dilihat dari belum banyaknya
novelis di Malang menggarap genre ini. Novel-novel realis lebih mendominasi. Di
kota yang terus berkembang dalam suasana hedonisme dan pembangunan fisik serta
pengagungan logika ilmiah, bisa jadi hal-hal mistik dan supranatural makin
kurang menggiurkan. Meskipun, dalam penat kehidupan metropolitan dan deratan
rumus-rumus pembangunan fisik serta pengagungan logika, diam-diam ada manusia yang ingin berkelana
dalam dunia tak kasat mata. Di atas semua itu, yang lebih penting, terutama
terkait pesan dalam Novel karya Kunthi Hastorini, adalah bagaimana di kota-kota
besar para remaja mampu menggunakan akal sehat dan nurani jernihnya untuk
meredam fatamorgana dari godaan yang serba materialistik.